Ada 8 Provinsi dengan Angka Kelahiran Terendah, Bonus Demografi Usai?
Delapan provinsi di Indonesia kini mencatat angka kelahiran terendah, memicu kekhawatiran akan awal penurunan populasi di tengah masih bergulirnya bonus demografi.

Suara tawa anak-anak di kompleks perumahan elite kawasan Bintaro terdengar makin jarang. Di taman-taman bermain di tengah kota Yogyakarta, ayunan dan perosotan lebih sering kosong ketimbang terisi. Fenomena ini bukan semata perubahan musim, tapi pertanda perubahan besar dalam demografi Indonesia. Data terbaru menunjukkan delapan provinsi kini mencatatkan angka kelahiran terendah, memicu kekhawatiran akan ancaman penurunan populasi dalam jangka panjang.
Laporan resmi dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) per pertengahan 2025 menunjukkan angka total fertility rate (TFR) di beberapa provinsi utama di Indonesia kini berada di bawah angka pengganti generasi, yakni 2,1. Delapan provinsi yang tercatat memiliki tingkat kelahiran terendah adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, dan Papua Barat.
Di DKI Jakarta, misalnya, angka kelahiran hanya berada di kisaran 1,9 anak per perempuan. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI, dr. Triana Maharani, menyebut bahwa perubahan gaya hidup urban dan tingginya biaya hidup membuat banyak pasangan memilih menunda memiliki anak, atau bahkan tidak memiliki anak sama sekali. “Kami menemukan banyak pasangan usia 30-an yang justru lebih fokus pada karier dan kehidupan mandiri. Anak bukan lagi prioritas, melainkan pilihan yang dipertimbangkan dengan sangat matang,” ujarnya saat ditemui di Balai Kota Jakarta, Jumat (4/7).
Kondisi serupa juga terjadi di Yogyakarta, provinsi dengan tingkat pendidikan tertinggi di Indonesia. Riset dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa mayoritas perempuan di Yogyakarta menikah di usia 25 tahun ke atas, dan hanya memiliki satu anak. Pendidikan yang tinggi, akses terhadap kontrasepsi, serta partisipasi perempuan dalam dunia kerja disebut sebagai faktor utama penyebab penurunan kelahiran.
Sementara di Bali dan Kepulauan Riau, sektor pariwisata dan industri memberikan dampak besar terhadap struktur sosial masyarakat. Banyak pendatang muda bekerja di sektor informal, tinggal sementara, dan tidak menjadikan wilayah ini sebagai tempat menetap dan membangun keluarga. “Bali sekarang lebih banyak dihuni oleh pekerja sementara. Pasangan muda lebih memilih berkarier dulu, baru menikah di usia yang cukup matang,” ujar Dewa Made Wijaya, peneliti demografi dari Universitas Udayana.
Yang menarik, di wilayah timur Indonesia seperti Papua Barat, penurunan angka kelahiran justru terjadi karena faktor urbanisasi dan peningkatan akses pendidikan. Masyarakat lokal mulai mengadopsi gaya hidup perkotaan, termasuk membatasi jumlah anak.
Fenomena ini menjadi sinyal bagi pemerintah bahwa bonus demografi Indonesia, yang diproyeksikan mencapai puncaknya pada 2030, bisa berakhir lebih cepat dari yang diperkirakan. Tanpa strategi jangka panjang yang adaptif, Indonesia bisa mengalami krisis tenaga kerja produktif dalam beberapa dekade ke depan.
Kepala BKKBN, dr. Hasto Wardoyo, menyampaikan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada pengendalian kelahiran, tapi juga mulai menyusun kebijakan untuk menjaga keseimbangan populasi. “Kami sedang merancang program insentif bagi keluarga muda yang mau punya anak, seperti bantuan biaya pendidikan dan akses rumah tinggal,” katanya dalam sebuah konferensi pers nasional.
Tantangan ke depan bukan lagi soal mengendalikan lonjakan penduduk, melainkan bagaimana menjaga agar Indonesia tidak kekurangan generasi penerus. Jika angka kelahiran terus turun, konsekuensinya bisa serius: penuaan populasi, berkurangnya tenaga kerja produktif, dan beban sosial ekonomi yang membesar. Bagi Indonesia yang sedang berlari mengejar kemajuan, tantangan demografi kini datang dalam bentuk yang tak terduga — senyap, tapi nyata.